Minggu, 18 Oktober 2015

individual Etika Bisnis

BAB I

Selain menghadapi proses hukum di kepolisian, Yuki Irawan, bos pabrik panci di Sepatan, tampaknya harus siap-siap menghadapi gugatan hukum dari Pemerintah Kabupaten Tangerang atas perbuatan dan berbagai pelanggaran yang dilakukannya. Sebab, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang akan mempidanakan pemilik perusahaan panci yang melakukan perbudakan terhadap puluhan karyawannya itu.

Langkah hukum ini ditempuh setelah Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang memastikan adanya pelanggaran serius yang dilakukan perusahaan tersebut. “Banyak pelanggaran yang dilakukan perusahaan itu, dan kami akan menempuh jalur hukum,” ujar Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang, Heri Heryanto, Senin,6 Mei 2013.

Menurut Heri, CV Cahaya Logam telah melakukan pelanggaran-pelanggaran normatif, seperti mengabaikan kesehatan dan keselamatan pekerja, melanggar waktu bekerja dengan mempekerjakan buruh dari jam 6 pagi hingga 10 malam, perampasan hak berkomunikasi dengan menyita alat komunikasi milik pekerja, dan menyekap mereka dalam ruangan yang sempit dan sangat tidak layak. “Ruangnya kotor, kamar mandinya juga jauh dari dikatakan layak,” kata Heri.

Kepolisian Resor Kota Tangerang menggerebek sebuah pabrik pembuatan aluminium balok dan panci di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, Jumat petang, 3 Mei 2013. Polisi telah menetapkan lima tersangka. Kelima tersangka itu adalah Yuki Irawan, 41 tahun, pemilik pabrik, dan empat anak buahnya: Tedi Sukarno (35), Sudirman (34), Nurdin alias Umar (25), dan Jaya (30). Sudirman adalah bekas buruh asal Lampung yang diangkat Yuki sebagai mandor. Para tersangka melakukan sejumlah pelanggaran hukum.
Polisi menjerat para tersangka dengan pasal berlapis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni Pasal 33 tentang Perampasan Kemerdekaan Orang, Pasal 351 (penganiayaan), dan Pasal 372 (penggelapan). Mereka juga melanggar Undang-Undang Perlindungan anak karena ada empat buruh masih berusia di bawah 18 tahun. Tersangka juga menyekap enam buruh dalam ruangan terkunci. Ancaman hukuman terhadap tersangka adalah 8 tahun penjara.

Tanggapan :
               Kasus yang terjadi di perusahaan CV. Cahaya Logam ini jelas sekali banyak melanggar etika dalam berbinis, dan tentunya Undang – Undang, terutama Undang – Undang nomor 13 tahun 2003 tentang  Ketenagakerjaan . Pengusaha sama sekali tidak memperhatikan kesejahteraan pekerja, apa lagi di sebutkan tadi bahwa kasus ini termasuk juga kasus perbudakan. Dimana pelanggaran – pelanggaran yang terjadi di antaranya :
kesehatan dan keselamatan pekerja,
melanggar waktu bekerja dengan mempekerjakan buruh dari jam 6 pagi hingga 10 malam,
perampasan hak berkomunikasi dengan menyita alat komunikasi milik pekerja,
dan menyekap mereka dalam ruangan yang sempit dan sangat tidak layak. “Ruangnya kotor, kamar mandinya juga jauh dari dikatakan layak,”
Pemerintah bukan hanya kecolongan dalam hal ini, tetapi juga dengan adanya oknum Brimob yang terlibat , kecurangan tidak hanya terjadi di perusahaan tersebut, tetapi juga adanya KKN dalam pemerintahan. Disini pastinya juga anggota Brimob mendapat komisi dari pengusaha untuk pengkondisian di perusahaaan CV Cahaya Logam ini. Jadi tidak hanya etika, tetapi sudah menyangkut moralitas Bangsa.
Solusi :
1. Dalam mendirikan sebuah Perusahaan / Badan Usaha  tentunya harus ada ijin yang syah menurut    hukum. Sehingga tidak terjadi pendirian liar atau perusahaan – perusahaan ilegal.
2. Adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja, sehingga apabila terjadi pelanggaran oleh salah satu pihak dapat di tuntut secara hukum.
3. Pemerintah juga harus meningkatkan kinerja dan moralitas, serta menindak tegas terhadap  ‘perusahaan – perusahan nakal “ seperti ini. Kalau bisa langsung menutup / memblokir CV tersebut.
4. Setiap Pengusaha besar ataupun kecil sekalipun  harus diberikan pengetahuan tentang bisnis, atau etika dalam bisnis. Agar dia tahu apa sanksi – sanksi apabila melakukan pelanggaran, dan aturan – aturan yang berlaku di dunia bisnis. Sehingga memperkecil kemungkinan terjadi pelanggaran.
5. Memberikan training terhadap para pekerja , tetang hak – hak , dan kewajiban apa saja yang di dapat dan di lakukan para pekerja diperusahaan.
6. Terdapat anggota serikat pekerja , yang berperan membela para pekerja agar mendapat haknya sesuai dengan aturan.
7. Pengawasan terhadap home industry, walaupun bukan kewengangan penuh pemerintah.
8. Membentuk managemen perusahaan yang baik dan benar sesuai standard ISO.
9. Memberikan merk dagang sebagai hak cipta terhadap produk – produk yang dihasilkan dan terregistrasi. Terkait pasar bebas, agar memperkecil kemungkinan penggandaan produk yang akan merugikan perusahaan produsen.
10. Mengidentifikasi dan melakukan observasi secara berkala oleh pemerintah atau audit swasta terhadap perusahaan – perusahaan, atau home industry.
11. Perusahaan harus memberikan hak – hak para perkerja sesuai dengan aturan, meliputi gaji yang layak dan kesejahteraan pekerja ataupun keluarga pekerja. Kemudian mendaftarkan pekerja ke Jamsostek.
12. Membuat aturan – aturan internal perusahaan sesuai dengan standard dan wajar. Tidak berlebihan sehingga kenyamanan para pekerja dapat terjaga, dan mengurangi pemberontakan pekerja terhadap pengusaha.
13. Perekrutan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga tidak mudah di bohongi oleh pengusaha.

BAB II

CONTOH KASUS ETIKA BISNIS
Kasus Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.

Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.

Penyelesaian Kasus
Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara jelas menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara di Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan melibatkan unsur aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu perusahaan-perusahaan yang  disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO. Indonesia meminta bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan anti dumping yang dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel lainnya dan Indonesia juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan
anti dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7 november 2003.

Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff seperti yang tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan suatu badan peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang perdagangan. Ini menegaskan bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di cakupan Internasional, bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena Korea dinilai telah bertindak ‘curang’ dengan tidak melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping. Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).  Korean Trade Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan 4809.4816. Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan sesuai prosedur terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan. Kasus dumping Korea-Indonesia pada akhirnya dimenangkan oleh Indonesia.

Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu, diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri) yang diajukan industri dalam negeri. selama ini, Indonesia belum pernah menerapkan BMADS dalam proses penyelidikan dumping apapun padahal negara lain telah menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang diproses termasuk kepada Indonesia. Padahal hal ini sangat diperlukan seperti dalam rangka penyelidikan, negara yang mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS sesuai perhitungan injury (kerugian) sementara. Jika negara eksportir terbukti melakukan dumping, maka dapat dikenakan sanksi berupa BMAD sesuai hasil penyelidikan. Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan informasi mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.
http://septiiyanekogogo.blogspot.com/2013/07/kekuatan-sosial-dan-budaya-dalam_1.html
http://deviapriyanti158.blogspot.com/2013/05/kegiatan-ekspor-dalam-bisnis.html

Tanggapan :

PT. Megarsari Makmur sudah melakukan perbuatan yang sangat merugikan dengan memasukkan 2 zat berbahaya pada produk mereka yang berdampak buruk pada konsumen yang  menggunakan produk mereka. Salah satu sumber mengatakan bahwa meskipun perusahaan sudah melakukan permintaan maaf dan berjanji menarik produknya, namun permintaan maaf itu  hanyalah sebuah klise dan penarikan produk tersebut seperti tidak di lakukan secara sungguh –sungguh karena produk tersebut masih ada dipasaran.

Pelanggaran Prinsip Etika Bisnis yang dilakukan oleh PT. Megarsari Makmur yaitu Prinsip  Kejujuran dimana perusahaan tidak memberikan peringatan kepada konsumennya mengenai  kandungan yang ada pada produk mereka yang sangat berbahaya untuk kesehatan dan  perusahaan juga tidak memberi tahu penggunaan dari produk tersebut yaitu setelah suatu ruangan disemprot oleh produk itu semestinya ditunggu 30 menit terlebih dahulu baru kemudian dapat  dimasuki /digunakan ruangan tersebut.

Melakukan apa saja untuk mendapatkan keuntungan pada dasarnya boleh dilakukan asal tidak merugikan pihak mana pun dan tentu saja pada jalurnya. Disini perusahaan seharusnya lebih mementingkan keselamatan konsumen yang menggunakan produknya karena dengan meletakkan  keselamatan konsumen diatas kepentingan perusahaan maka perusahaan itu sendiri akan  mendapatkan keuntungan yang lebih besar karena kepercayaan / loyalitas konsumen terhadap produk itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar