BAB I
Selain menghadapi proses hukum di
kepolisian, Yuki Irawan, bos pabrik panci di Sepatan, tampaknya harus siap-siap
menghadapi gugatan hukum dari Pemerintah Kabupaten Tangerang atas perbuatan dan
berbagai pelanggaran yang dilakukannya. Sebab, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten
Tangerang akan mempidanakan pemilik perusahaan panci yang melakukan perbudakan
terhadap puluhan karyawannya itu.
Langkah hukum ini ditempuh
setelah Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang memastikan adanya pelanggaran
serius yang dilakukan perusahaan tersebut. “Banyak pelanggaran yang dilakukan
perusahaan itu, dan kami akan menempuh jalur hukum,” ujar Kepala Dinas Tenaga
Kerja Kabupaten Tangerang, Heri Heryanto, Senin,6 Mei 2013.
Menurut Heri, CV Cahaya Logam
telah melakukan pelanggaran-pelanggaran normatif, seperti mengabaikan kesehatan
dan keselamatan pekerja, melanggar waktu bekerja dengan mempekerjakan buruh
dari jam 6 pagi hingga 10 malam, perampasan hak berkomunikasi dengan menyita
alat komunikasi milik pekerja, dan menyekap mereka dalam ruangan yang sempit
dan sangat tidak layak. “Ruangnya kotor, kamar mandinya juga jauh dari
dikatakan layak,” kata Heri.
Kepolisian Resor Kota Tangerang
menggerebek sebuah pabrik pembuatan aluminium balok dan panci di Kampung Bayur
Opak, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, Jumat petang, 3
Mei 2013. Polisi telah menetapkan lima tersangka. Kelima tersangka itu adalah
Yuki Irawan, 41 tahun, pemilik pabrik, dan empat anak buahnya: Tedi Sukarno
(35), Sudirman (34), Nurdin alias Umar (25), dan Jaya (30). Sudirman adalah
bekas buruh asal Lampung yang diangkat Yuki sebagai mandor. Para tersangka
melakukan sejumlah pelanggaran hukum.
Polisi menjerat para tersangka
dengan pasal berlapis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni Pasal 33 tentang
Perampasan Kemerdekaan Orang, Pasal 351 (penganiayaan), dan Pasal 372
(penggelapan). Mereka juga melanggar Undang-Undang Perlindungan anak karena ada
empat buruh masih berusia di bawah 18 tahun. Tersangka juga menyekap enam buruh
dalam ruangan terkunci. Ancaman hukuman terhadap tersangka adalah 8 tahun
penjara.
Tanggapan :
Kasus yang terjadi di perusahaan CV. Cahaya Logam ini jelas sekali banyak
melanggar etika dalam berbinis, dan tentunya Undang – Undang, terutama Undang –
Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan . Pengusaha sama
sekali tidak memperhatikan kesejahteraan pekerja, apa lagi di sebutkan tadi
bahwa kasus ini termasuk juga kasus perbudakan. Dimana pelanggaran –
pelanggaran yang terjadi di antaranya :
kesehatan dan keselamatan
pekerja,
melanggar waktu bekerja dengan
mempekerjakan buruh dari jam 6 pagi hingga 10 malam,
perampasan hak berkomunikasi
dengan menyita alat komunikasi milik pekerja,
dan menyekap mereka dalam ruangan
yang sempit dan sangat tidak layak. “Ruangnya kotor, kamar mandinya juga jauh
dari dikatakan layak,”
Pemerintah bukan hanya kecolongan
dalam hal ini, tetapi juga dengan adanya oknum Brimob yang terlibat ,
kecurangan tidak hanya terjadi di perusahaan tersebut, tetapi juga adanya KKN
dalam pemerintahan. Disini pastinya juga anggota Brimob mendapat komisi dari
pengusaha untuk pengkondisian di perusahaaan CV Cahaya Logam ini. Jadi tidak
hanya etika, tetapi sudah menyangkut moralitas Bangsa.
Solusi :
1. Dalam mendirikan sebuah
Perusahaan / Badan Usaha tentunya harus ada ijin yang syah menurut
hukum. Sehingga tidak terjadi pendirian liar atau perusahaan
– perusahaan ilegal.
2. Adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja, sehingga apabila terjadi pelanggaran oleh salah satu
pihak dapat di tuntut secara hukum.
3. Pemerintah juga harus
meningkatkan kinerja dan moralitas, serta menindak tegas terhadap
‘perusahaan – perusahan nakal “ seperti ini. Kalau bisa langsung menutup /
memblokir CV tersebut.
4. Setiap Pengusaha besar ataupun
kecil sekalipun harus diberikan pengetahuan tentang bisnis, atau etika
dalam bisnis. Agar dia tahu apa sanksi – sanksi apabila melakukan pelanggaran,
dan aturan – aturan yang berlaku di dunia bisnis. Sehingga memperkecil
kemungkinan terjadi pelanggaran.
5. Memberikan training terhadap
para pekerja , tetang hak – hak , dan kewajiban apa saja yang di dapat dan di
lakukan para pekerja diperusahaan.
6. Terdapat anggota serikat
pekerja , yang berperan membela para pekerja agar mendapat haknya sesuai dengan
aturan.
7. Pengawasan terhadap home
industry, walaupun bukan kewengangan penuh pemerintah.
8. Membentuk managemen perusahaan
yang baik dan benar sesuai standard ISO.
9. Memberikan merk dagang sebagai
hak cipta terhadap produk – produk yang dihasilkan dan terregistrasi. Terkait
pasar bebas, agar memperkecil kemungkinan penggandaan produk yang akan
merugikan perusahaan produsen.
10. Mengidentifikasi dan
melakukan observasi secara berkala oleh pemerintah atau audit swasta terhadap
perusahaan – perusahaan, atau home industry.
11. Perusahaan harus memberikan
hak – hak para perkerja sesuai dengan aturan, meliputi gaji yang layak dan
kesejahteraan pekerja ataupun keluarga pekerja. Kemudian mendaftarkan pekerja
ke Jamsostek.
12. Membuat aturan – aturan
internal perusahaan sesuai dengan standard dan wajar. Tidak berlebihan sehingga
kenyamanan para pekerja dapat terjaga, dan mengurangi pemberontakan pekerja
terhadap pengusaha.
13. Perekrutan sumber daya
manusia yang berkualitas, sehingga tidak mudah di bohongi oleh pengusaha.
BAB II
CONTOH KASUS ETIKA BISNIS
Kasus Dugaan Dumping Terhadap
Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea Salah satu kasus yang terjadi antar
anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh
Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel
sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut
menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar
2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya
tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree
copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS,
turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.Karenanya, Indonesia harus melakukan
yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika
industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16
jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated
paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose
produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal
30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping
(BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk
sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan
lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti
dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT
Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan
sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia
mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan
konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal
mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta
Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui
proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan
Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping
WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas
Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya
membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa
Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik
Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas
Indonesia.
Penyelesaian Kasus
Dalam kasus ini, dengan
melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara jelas menggambarkan
bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara di
Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya
merupakan negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi
unsur ekonomi yang terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua
Negara dengan melibatkan unsur aktor-aktor non negara yang berasal dari
dalam negeri masing-masing negara yaitu perusahaan-perusahaan yang disubsidi
oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor. Dumping merupakan
suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah
dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO.
Indonesia meminta bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan
anti dumping yang dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten
dengan beberapa point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang
paling banyak diabaikandan artikel lainnya dan Indonesia juga meminta
Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and
Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea
bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan
anti dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7 november 2003.
anti dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7 november 2003.
Yang menjadi aspek legal disini
adalah adanya pelanggaran terhadap artikel kesepakatan WTO khususnya dalam
kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff seperti yang tercakup
dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan suatu
badan peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang perdagangan. Ini
menegaskan bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di cakupan
Internasional, bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat
legal atau hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah
Indonesia karena Korea dinilai telah bertindak ‘curang’ dengan tidak
melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping
kertas tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan
dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan
Internasional Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB
pada November 2005 menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung
ulang margin dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu,
Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama delapan bulan
setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai
Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik
dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar
ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping
sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang
dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk
antidumping. Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel
Permanen juga tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan
retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam
retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk tertentu
dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk
Anti-Dumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas
dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan
kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi
Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper,
dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping,
KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen.
Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan
undercoated wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55;
4802.56; 4802.57; dan 4809.4816. Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan
upaya pendekatan sesuai prosedur terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006
Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi.
Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea
masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea
mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri
kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok hingga 50 persen dari
US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita
waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan. Kasus
dumping Korea-Indonesia pada akhirnya dimenangkan oleh Indonesia.
Namun untuk menghadapi
kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia
perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti
Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat
melonjaknya barang impor. Selain itu, diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti
Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses investigasi praktek dumping
(ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri) yang diajukan
industri dalam negeri. selama ini, Indonesia belum pernah menerapkan BMADS
dalam proses penyelidikan dumping apapun padahal negara lain telah
menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang diproses termasuk kepada
Indonesia. Padahal hal ini sangat diperlukan seperti dalam rangka
penyelidikan, negara yang mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS sesuai
perhitungan injury (kerugian) sementara. Jika negara eksportir terbukti
melakukan dumping, maka dapat dikenakan sanksi berupa BMAD sesuai hasil
penyelidikan. Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti
Dumping Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas
melaksanakan penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan
bukti dan informasi mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi
dan lonjakan impor.
http://septiiyanekogogo.blogspot.com/2013/07/kekuatan-sosial-dan-budaya-dalam_1.html
http://deviapriyanti158.blogspot.com/2013/05/kegiatan-ekspor-dalam-bisnis.html
Tanggapan :
http://deviapriyanti158.blogspot.com/2013/05/kegiatan-ekspor-dalam-bisnis.html
Tanggapan :
PT. Megarsari Makmur sudah
melakukan perbuatan yang sangat merugikan dengan memasukkan 2 zat
berbahaya pada produk mereka yang berdampak buruk pada konsumen yang menggunakan
produk mereka. Salah satu sumber mengatakan bahwa meskipun
perusahaan sudah melakukan permintaan maaf dan berjanji menarik produknya,
namun permintaan maaf itu hanyalah sebuah klise dan penarikan produk
tersebut seperti tidak di lakukan secara sungguh –sungguh karena produk
tersebut masih ada dipasaran.
Pelanggaran Prinsip Etika Bisnis
yang dilakukan oleh PT. Megarsari Makmur yaitu Prinsip Kejujuran dimana
perusahaan tidak memberikan peringatan kepada konsumennya mengenai kandungan
yang ada pada produk mereka yang sangat berbahaya untuk kesehatan dan perusahaan
juga tidak memberi tahu penggunaan dari produk tersebut yaitu setelah suatu
ruangan disemprot oleh produk itu semestinya ditunggu 30 menit terlebih dahulu
baru kemudian dapat dimasuki /digunakan ruangan tersebut.
Melakukan apa saja untuk
mendapatkan keuntungan pada dasarnya boleh dilakukan asal tidak merugikan
pihak mana pun dan tentu saja pada jalurnya. Disini perusahaan seharusnya
lebih mementingkan keselamatan konsumen yang menggunakan produknya karena
dengan meletakkan keselamatan konsumen diatas kepentingan perusahaan maka
perusahaan itu sendiri akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar
karena kepercayaan / loyalitas konsumen terhadap produk itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar