LATAR BELAKANG MONOPOLI
Warga negara Indonesia
menganggap bahwa listrik merupakan kebutuhan vital bagi kehidupannya
sehari-hari. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia tidak dapat terlepas
dari listrik. Bahkan di desa terpencil sekalipun saat ini sudah dapat menikmati
fasilitas listrik. Namun kini, Indonesia sedang mengalami krisis listrik.
Listrik menjadi sesuatu yang mahal dan langka disebabkan ketersediaannya yang
sangat terbatas. Salah satu faktor yang menjadi pemicu kelangkaan listrik ini
adalah pertumbuhan akan kebutuhan tenaga listrik yang semakin meningkat
sementara tidak diimbangi oleh usaha penyediaan tenaga listrik yang memadai.
PT.
Perusahaan Listrik Negara Persero (PT. PLN) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki
kewajiban untuk menyediakan kebutuhan listrik di Indonesia. Namun faktanya,
masih banyak kasus di mana mereka malah justru merugikan masyarakat. Di satu
sisi kegiatan monopoli mereka dimaksudkan untuk kepentingan
mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai UUD 1945
Pasal 33, namun di sisi lain, tindakan PT. PLN ini justru belum atau bahkan
tidak menunjukkan kinerja yang baik dalam pemenuhan kebutuhan listrik
masyarakat.
Wacana mengenai krisis
listrik ini sebenarnya telah muncul sejak awal tahun 2002 atau akhir tahun
2001. Pada waktu itu hingga sekarang muncul pemikiran untuk keterlibatan pihak
swasta terhadap pengelolaan ketenagalistrikan di Indonesia yang selama ini
dimonopoli oleh PLN. Keadaan krisis listrik yang parah ditunjukkan oleh
fenomena listrik padam serentak se-Jawa Bali pada Rabu, 20 Februari 2008 karena
terjadi defisit pasokan listrik hingga 1.044 MW. Saat itu, pemerintah bersiap
untuk mengumumkan keadaan darurat jika defisit mencapai 1.500 MW. Krisis
listrik di Indonesia bisa dikatakan sudah berada dalam tahap yang
mengkhawatirkan. Di beberapa wilayah, tiada hari tanpa pemadaman berlgilir.
Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan terinterkoneksi juga masih sering
mengalami masalah.
Krisis listrik memuncak
saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik
secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama
periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan jam operasional
kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua industri di
Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang
membandel. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat
defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara
pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung
Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi
juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU
Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang[2].
Minimnya pasokan
listrik sebagian besar dipicu stagnasi produksi PLN. PLN sebagai pemasok 90%
kebutuhan listrik nasional sulit meningkatkan produksi karena minimnya keuangan
perusahaan sehingga sulit diharapkan dapat melakukan ekspansi. Produksi PLN
yang sudah ada juga tidak optimal dan mahal karena sebagian besar pembangkit
sudah tua, boros bahan bakar, kekurangan pasokan energi primer, dan sering
mengalami kerusakan. PLN juga dikenal tidak efisien, seperti susut daya listrik
yang besar, mahalnya harga pembelian listrik swasta, tingginya kasus pencurian
listrih hingga korupsi. Stagnasi ini juga dipicu oleh pembangunan listrik yang
tidak bervisi ke depan akibat subsidi BBM regresif membuat sebagian besar
pembangkit PLN adalah pembangkit termal yang kini kian mahal. Selain mahal,
konversi energi bahan bakar fosil menjadi listrik juga sangat tidak efisien
(hanya sekitar 30%) dan tidak ramah lingkungan.
Hingga kini, sebagian
besar produksi listrik nasional masih mengandalkan bahan bakar fosil. Kodisi
PLN yang demikian ini akan menjadi semakin terpuruk apabila tidak dibenahi,
karena permintaan listrik akan terus meningkat seiring dengan pertambahan
penduduk. Pertumbuhan konsumsi listrik diperkirakan 8-10% per tahun hingga
2013. Dengan demikian krisis yang disebabkan kesenjangan (gap) antara
permintaan dan pawaran sudah terprediksi sejak lama. Jika tidak ada tambahan
kapasitas yang berarti, krisis pada sistem Jawa-Bali dan sistem interkoneksi
Sumatra hanya tinggal menunggu waktu.
Beberapa dekade ini, fungsi
PT. PLN sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik mulai dipecah.
Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga listrik.
Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT. PLN. Saat ini
telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka
termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi, Californian Energy,
Edison Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath Internasional, Duke
Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan harga
listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. PLN sendiri.
Artinya bahwa pihak swasta sangat dibutuhkan untuk ikut serta dalam usaha
penyediaan tenaga listrik di samping PLN sebagai salah satu pelaksana kegiatan
usaha penyediaan tenaha listrik di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam koridor
kepentingan masyarakat luas terutama dalam hal menetapkan tarif yang dapat
dijangkau masyarakat sesuai dengan kemampuan ekonomi dan tingkat pendapatan
masyarakat [3].
Keberadaan PLN saat ini
sangat mendominasi dan memonopoli ketenagalistrikan di Indonesia. Tetapi
keberadaannya tersebut malah tidak mampu melayani masyarakat pengguna listrik
tersebut sementara keterlibatan swasta dalam bisnis listrik secara langsung
(menjadi kompetitor PLN) sulit dilakukan karena terdapat preseden putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) No. 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa UU
No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tidak memiliki kekuatan mengikat.
UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan memiliki perbedaan signifikan
dengan UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang lama.[4]
Dalam
UU No.20 Tahun 2002 dijelaskan bahwa semua pelaku usaha diberikan
kesempatan yang lebih luas untuk dapat masuk dalam usaha penyediaan tenaga
listrik. Selain itu hal yang cukup berbeda ialah bahwa undang-undang ini telah
mengatur hal-hal yang terkait dalam penerapan kompetisi di wilayah-wilayah
tertentu. Sesungguhnya melalui UU No. 20 Tahun 2002 tersebut akan dimungkinkan
keterlibatan swasta menjadi pelaku usaha yang menyediakan listrik di Indonesia.
Telaah terhadap putusan MK tersebut menjadi menarik dikarenakan secara tidak
langsung mendukung PLN dalam memonopoli ketenagalistrikan di Indonesia padahal
secara prediktif pada tahun 2003 telah tergambar akan adanya krisis listrik
disebabkan kemampuan PLN yang tidak cukup untuk menjamin pasokan listrik se
Indonesia. Oleh karena itu, makalah ini akan mendeskripsikan persoalan monopoli
yang dilakukan oleh PLN dalam perspektif hukum anti monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.
2. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Monopoli
Monopoli adalah suatu
situasi dalam pasar dimana hanya ada satu atau segelintir perusahaan yang
menjual produk atau komoditas tertentu yang tidak punya pengganti yang mirip
dan ada hambatan bagi perusahaan atau pengusaha lain untuk masuk dalam bidan
industri atau bisnis tersebut. Dengan kata lain, pasar dikuasai oleh satu atau
segelintir perusahaan, sementara pihak lain sulit masuk di dalamnya.
Karena itu, hampir tidak ada persaingan berarti.
Secara umum, perusahaan
monopoli menyandang dikonotasikan negatif dengan perolehan keuntungan yang
melebihi normal dan penawaran komoditas yang lebih sedikit bagi masyarakat,
meskipun dalam prakteknya tidak selalu demikian. Dalam ilmu ekonomi dikatakan
ada monopoli jika seluruh hasil industri diproduksi dan dijual oleh satu
perusahaan yang disebut monopolis atau perusahaan monopoli.
2.2. Jenis monopoli
Ada dua macam monopoli
yaitu monopoli alamiah dan yang kedua adalah monopoli artifisial. Monopoli
alamiah lahir karena mekanisme murni dalam pasar. Monopoli ini lahir secara
wajar dan alamiah karena kondisi objektif yang dimiliki oleh suatu perusahaan,
yang menyebabkan perusahaan ini unggul dalam pasar tanpa bisa ditandingi dan
dikalahkan secara memadai oleh perusahaan lain. Dalam jenis monopoli ini,
sesungguhnya pasar bersifat terbuka. Karena itu, perusahaan ain sesungguhnya
bebas masuk dalam jenis industri yang sama. Hanya saja, perusahaan lain tidak
mampu menandingi perusahaan monopolistis tadi sehingga perusahaan yang unggul
tadi relatif menguasasi pasar dalam jenis industri tersebut.
Yang menjadi masalah
adalah jenis monopoli yang kedua, yaitu monopoli artifisial. Monopoli ini lahir
karena persekongkolan atau kolusi politis dan ekonomi antara pengusaha dan penguasa
demi melindungi kepentingan kelompok pengusaha tersebut. Monopoli semacam ini
bisa lahir karena pertimbangan rasional maupun irasional. Pertimbangan rasional
misalnya demi melindungi industri industri dalam negeri, demi memenuhi economic
of scale, dan seterusnya. Pertimbangan yang irasional bisa sangat pribadi
sifatnya dan bisa dari yang samar-samar dan besar muatan ideologisnya sampai
pada yang kasar dan terang-terangan. Monopoli ini merupakan suatu rekayasa
sadar yang pada akhirnya akan menguntungkan kelompok yang mendapat monopoli dan
merugikan kepentingan kelompok lain, bahkan kepentingan mayoritas masyarakat.
2.3. Ciri pasar monopoli
Ciri-ciri dari pasar monopoli adalah sebagai berikut:
Pasar monopoli adalah industri satu perusahaan
Dari definisi monopoli
telah diketahui bahwa hanya ada satu saja perusahaan dalam industri tersebut.
Dengan demikian barang atau jasa yang dihasilkannya tidak dapat dibeli dari
tempat lain. Para pembeli tidak mempunyai pilihan lain, kalau mereka
menginginkan barang tersebut maka mereka harus membeli dari perusahaan monopoli
tersebut. Syarat-syarat penjualan sepenuhnya ditentukan oleh perusahaan
monopoli itu, dan konsumen tidak dapat berbuat suatu apapun didalam menentukan
syarat jual beli.
Tidak mempunyai barang pengganti yang mirip
Barang yang dihasilkan
perusahaan monopoli tidak dapat digantikann oleh barag lain yang ada didalam
pasar. Barang-barang tersebut merupakan satu-satunya jenis barang yang seperti
itu dan tidak terdapat barang mirip yang dapat menggantikan.
Tidak terdapat kemungkinan untuk masuk kedalam industri
Sifat ini merupakan
sebab utama yang menimbulkan perusahaan yang mempunyai kekuasaan monopoli.
Keuntungan perusahaan monopoli tidak akan menyebabkan perusahaan-perusahaan
lain memasuki industri tersebut.
Dapat mempengaruhi penentuan harga
Perusahaan monopoli
merupakan satu-satunya penjual didalam pasar, maka penentuan harga dapat
dikuasainya. Oleh sebab itu perusahaan monopoli dipandang sebagai penentu
harga.
Promosi iklan kurang diperlukan
Oleh karena perusahaan
monopoli adalah satu-satunya perusahaan didalam industri, ia tidak perlu
mempromosikan barangnya dengan menggunakan iklan. Walau ada yang menggunakan
iklan, iklan tersebut bukanlah bertujuan untuk menarik pembeli, melainkan untuk
memelihara hubungan baik dengan masyarakat.
2.4. Undang-undang tentang Monopoli
Dalam situasi tertentu
kita membutuhkan perusahaan besar dengan kekuatan ekonomi yang besar dalam hal
praktek monopoli, oligopoli, suap, harus dibatasi dan dikendalikan, karena apabila
tidak dapat merugikan kepentingan masyarakat pada umumnya dan kelompok-kelompok
tertentu dalam masyarakat. MakaIndonesiapun kemudian membuat sebuah peraturan
antimonopoli yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini
menerjemahkan monopoli sebagai suatu tindakan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha.
Sedangkan praktik
monopoli pada UU tersebut dijelaskan sebagai suatu pemusatan kekuatan ekonomi
oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan
atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. UU ini dibagi menjadi
11 bab yang terdiri dari beberapa pasal.
2.5. Kasus Monopoli Perusahaan Listrik Negara
Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) mengakui adanya dugaan pelanggaran UU No.5/1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat oleh PT PLN
(Persero) apabila BUMN sektor listrik itu meneruskan kebijakan capping untuk
TDL sektor industri. KPPU akan mengkaji sesuai dengan prosedur lewat
pemeriksaan selanjutnya. Kemungkinan pasal yang akan dikaji KPPU ialah pasal
19d di dalam Undang-Undang Nomor 5/1999 yang mengatur masalah diskriminasi
terkait penerapan tarif terhadap para pelaku industri.Untuk itu, KPPU
akan segera menelisik data-data PLN untuk melihat siapa saja pelanggan industri
yang menikmati capping dengan yang tidak. Sementara ini, KPPU
mengakui pada 2010 memang terdapat perbedaan tarif untuk golongan-golongan
industri. Untuk golongan industri kecil atau rumah tangga yang dikenakan capping diganjar
Rp803 per KWh. Sementara yang tidak kena cappingdikenakan Rp916 per
KWh. Sehingga ada disparitas harga sekitar Rp113 per KWh. Sementara untuk
golongan menengah berkapasitas tegangan menengah berbeda Rp667 per KWh apabila
dikenakan cappingdan Rp731 KWh untuk yang tidak. Perbandingan bagi
industri yang memakai capping dengan yang tidak, untuk
tegangan menengah sebesar 23%. Untuk golongan tarif untuk keperluan industri
besar, mereka yang dikenakan capping harus membayar sebesar
Rp594 per KWh sementara yang tidak menjadi Rp605 per KWh (disparitas harga Rp11
per KWh). Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut, KPPU akan segera melakukan
pemeriksaan sesuai prosedur yang ada berdasarkan surat yang masuk ke pihaknya
pada 11 Januari silam.
KPPU juga akan panggil
pihak yang selama ini diuntungkan dengan tarif lebih rendah atau yang iri
terhadap perbedaan harga karena mereka dikenakan beban yang lebih tinggi
dibanding yang lain. Selain itu, mereka juga akan memanggil Pemerintah dan
Kementerian Keuangan dan Dirjen Listrik Kementerian ESDM untuk meminta
pandangan dari mereka dan akan membuktikan di lapangan misal cek kuitansi
supaya ada fakta dan data hukum tidak hanya data statistik[1].
Fungsi PT. PLN sebagai
pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik sebenarnya sudah mulai dipecah.
Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga listrik.
Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT. PLN. Saat ini
telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka
termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi, Californian Energy,
Edison Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath Internasional, Duke
Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan harga
listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. PLN sendiri.
Krisis listrik kemudian
juga memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) memberlakukan
pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan
sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan
jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua
industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri
yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat
defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara
pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung
Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi
juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU
Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang.
Akibat dari PT. PLN
yang memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat
bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata dan
adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Banyak daerah-daerah yang kebutuhan
listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara
sepihak. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat,
dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
2.6. Analisis Kasus
Kelistrikan di
Indonesia adalah bentukan sejarah, keadaan geografis, dan keteresediaan sumber
daya alam dari zaman dahulu. Dalam perjalanannya, pemerintah selalu mengambil
peran yang sempurna dalam penyediaan listrik bagi rakyat yang didasarkan pada
Pasal 33 UUD 1945. Meskipun pada masa pemerintahan Kolonial Belanda dan setelah
kemerdekaan telah ada perusahaan swasta komersial yang memproduksi listrik,
namun pemerintah nasional mengambil peranan dalam pembangunan sektor ini selama
50 tahun terakhir. Perusahaan Umum Listrik Negara yang didirikan pada 1950
telah menjadi pemain kunci dalam cepanya pembangunan sektor kelistrikan. Data
statistik menunjukkan bahwa PLN adalah salah satu perusahaan listrik terbesar
di dunia dengan total pelanggan 22 juta dan lebih dari 50.000 karyawan serta
hampir seluruh bagian masyarakat adalah stakeholders bagi PLN.[2]
PLN berdiri dilandaskan
pada UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dan pada tahun 2002 UUNo.15 Tahun
1985 dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 20 Tahun 2002. Namun kemudian melalui
Putusan MK No 001-021-022/PUU-I/2003 yang dibacakan pada hari Rabu tanggal 15
Desember 2004 menyatakan bahwa UU No. 20 Tahun 2002 tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Permasalahan inti dari persoalan UU No. 20 Tahun 2002 adalah
pada Pasal 16, 17 dan 68 yang menjiwai dari UU ketenagalistrikan tersebut.
Pasal 16 menyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan secara
terpisah oleh Badan Usaha yang berbeda. Pasal 17 menyatakan bahwa usaha
pembangkitan listrik dilakukan berdasarkan kompetisi dan dilarang menguasai
pasar. Larangan penguasaan pasar ini meliputi segala tindakan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat antara
lain:
·
menguasai
kepemilikan;
·
menguasai
sebagian besar kapasitas terpasang pembangkitan tenaga listrik dalam satu
wilayah kompetisi;
·
menguasai
sebagian besar kapasitas pembangkitan tenaga listrik pada posisi beban puncak;
·
menciptakan
hambatan masuk pasar bagi Badan Usaha lainnya;
·
membatasi
produksi tenaga listrik dalam rangka mempengaruhi pasar;
·
melakukan
praktik diskriminasi;
·
melakukan
jual rugi dengan maksud menyingkirkan usaha pesaingnya;
·
melakukan
kecurangan usaha;
·
dan/atau
melakukan persekongkolan dengan pihak lain.
Sedangkan Pasal 68
menyatakan bahwa Pada saat Undang-undang ini berlaku, terhadap Pemegang Kuasa
Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dianggap telah memiliki izin yang
terintegrasi secara vertikal yang meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi,
dan penjualan tenaga listrik dengan tetap melaksanakan tugas dan kewajiban
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sampai dengan dikeluar-kannya
Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik berdasarkan Undang-undang ini.
Keputusan MK dalam hal
ini menyatakan bahwa Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68 UU No. 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan berlawanan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun yang berlawanan
hanya tiga pasal tersebut, akan tetapi karena pasal-pasal tersebut merupakan
jantung dari UU No.20 Tahun 2002 padahal seluruh paradigma yang
mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi atau persaingan dalam
pengelolaan dengan sistem unbundling dalam ketenagalistrikan tidak sesuai
dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan norma dasar
perekonomian nasional Indonesia. MK berpendapat bahwa cabang produksi dalam
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 di bidang ketenagalisrikan harus ditafsirkan sebagai
satu kesatuan antara pembangkit transmisi dan distribusi sehingga dengan
demikian meskipun hanya pasal, ayat, atau bagian dari ayat tertentu saja dalam
undang-undang a quo yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengkiat
akan tetapi hal tersebut mengakibatkan UU No.20 Tahun 2002 secara
keseluruhan tidak dapat dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.
Dalam siaran Pers Koalisi
Masyarakat Anti Kenaikan Harga sebagai pihak yang mengajukan Judicial
Reviewatas UU No. 20 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam UU No. 20 Tahun 2002
terlihat bahwa negara tidak lagi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dan tidak ada lagi
ketentuan yang menyebutkan agar harga listrik terjangkau oleh masyarakat
sebagaimana semula ditetapkan dalam UU No. 15 Tahun 1985 terlebih lagi harga
listrik diserahkan kepada pasar sehingga tidak mempertimbangkan daya beli atau
kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hal ini sangat merugikan kepentingan bangsa,
negara dan rakyat Indonesia (merugikan kepentingan publik).
Akibat adanya
pertentangan antara UU No.20 Tahun 2002 dengan UUD Pasal 33,
menimbulkan dampak yang merugikan kepentingan bangsa, Negara dan masyarakat
(publik) Indonesia, PLN juga terkena dampaknya. PLN yang selama ini merupakan
satu-satunya BUMN yang mengelola sektor ketenagalistrikan dan telah memberikan
sumbangsih bagi bangsa, Negara, dan masyarakat yang telah menjalankan fungsi
untuk menyediakan tenaga listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan harga
terjangkau dan juga telah memberikan peran yang besar bagi perekenomian
nasional, berdasarkan UU No. 20 tahun 2002 tidak lagi merupakan cabang produksi
yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak. Akibatnya, tidak adanya
jaminan dan kepastian bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh tenaga listrik
dengan harga terjangkau dan justru akan merugikan perekonomian Negara yang pada
akhirnya akan mengurangi tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Bahkan dapat pula mengganggu keamanan negara dan kedaulatan negara karena
negara tidak lagi berkewajiban mengelola cabang produksi terpenting untuk
kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Putusan MK ini sejalan
dengan pengalaman dunia akan tenaga kelistrikan yang telah membuktikan bahwa
keberhasilan restrukturisasi sektor tenaga listik adalah mitos belaka. Sejumlah
negara baik negara maju dan berkembang telah menerapkan restrukturisasi namun
memberikan hasil yang serupa yaitu kenaikan tarif listrik, terjadinya
pemadaman, menurunnya tingkat kehandalan, penguasaan sektor listrik oleh
sebagian kecil perusahaan energi multinasional dan kegagalan negara melindungi
kepentingan ekonomi dan kepentingan masyarakat.
Secara ekonomi, iklim
kompetensi dan persaingan yang sehat dapat menghemat miliaran atau bahkan
terilyunan rupiah uang konsumen yang harus dibayarakan ke produsen karena harga
yang tidak wajar (overcharge) sebagai akibat kenaikan harga yang
artifisial. Secara umum, terdapat beberapa manfaat yang didapat perekonomian
jika pada sektor ketenagalistrikan terjadi kompetisi dan persaingan yang sehat,
di antaranya adalah:
Harga yang wajar dilihat dari kualitas.
Dalam iklim persaingan,
produsen akan berlomba-lomba menarik konsumen dengan menurunkan harga dan
meningkatkan kualitas barang/jasa yang dijualnya. Hanya barang/jasa dengan
harga yang rendah dengan kualitas terbaik yang akan dibeli oleh konsumen.
Konsumen memiliki banyak pilihan dalam membeli barang/jasa.
Pasar yang kompetitif
akan menghasilkan barang/jasa yang ditawarkan pelaku usaha dengan pilihan harga
dan kualitas yang bervariasi. Setiap konsumen pada dasarnya memiliki daya beli
dan selera yang berbeda-beda. Karakteristik konsumen untuk memproduksi
barang/jasa sesuai dengan kemampuan dan keinginan konsumen. Produsen dituntut
untuk sensitif terhadap daya beli dan perubahan selera konsumen. Pelaku usaha
yang tidak tanggap terhadap perubahan daya beli dan perubahan selera konsumen
lambat laun akan tersingkir di pasar.
Persaingan memungkinkan timbulnya inovasi.
Persaingan usaha akan
merangsang pelaku usaha berlomba-lomba membuat inovasi, baik inovasi produk
untuk memenuhi selera konsumen, inovasi teknologi maupun inovasi metode
produksi yang lebih efisien. Inovasi akan terus berkembang karena dalam pasar
yang bersaing hanya pelaku usaha inovatif yang dapat bertahan dan bersaing.
Terkait dengan sektor ketenagalistrikan, jika ada pesaing lain bagi PLN,
tentunya akan mendorong PLN berpikir dan melakukan yang terbaik dalam
menentukan harga dan memberikan pelayanan. Hal ini secara positif akan
mendorong PLN pada efisiensi kinerja dan inovasi teknologi.
Namun, kompetisi yang
dikehendaki agar dapat tercapai suatu iklim usaha yang sehat tidak dapat dilakukan
dalam bidang ketenagalistrikan. Hal ini dikarenakan segmen yang bersifat
monopoli alamiah tidak dikompetisikan dan diprioritaskan untuk dikelola oleh
BUMN. Pada dasarnya usaha penyediaan ketenagalistrikan dilakukan secara
monopoli, harga jual juga tetap dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah berdasarkan kewenangan dalam memberi izin tersebut. Meskipun demikian
usaha penyediaan ketenagalistrikan juga dapat dilakukan secara terintegrasi
atau satu jenis usaha saja. Namun karena PLN adalah Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) maka diberi hak untuk diprioritaskan dalam memenuhi ketenagalistrikan.
Dengan demikian ketersediaan listrik sesungguhnya merupakan tugas Pemerintah
untuk menenuhinya. Keterlibatan swasta dalam penguasaan listrik tidak dapat
dilakukan melalui mekanisme pasar dikarenakan ketenagalistrikan merupakan
sektor yang unik dan perlu penanganan khusus demi untuk tersedianya listrik
yang relatif murah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, secara
hukum masih terdapat berbagai perdebatan, apakah usaha yang dilakukan oleh PLN
adalah tindakan monopoli yang diperbolehkan atau tidak. Namun melihat dari
kerugian yang diterima oleh masyarakat, seharusnya tindakan monopoli ini tidak
boleh dilakukan. Kerugian ini diduga karena kurang optimalnya kinerja PLN dalam
penyedia listrik masyarakat. Sedangkan dari segi persaingan usaha, monopoli
yang dilakukan PLN merupakan persaingan usaha yang tidak sehat karena mulai
adanya pihak swasta yang juga menyediakan tenaga listrik di Indonesia. Persaingan
ini dianggap sehat apabila PLN tidak menghalangi usaha perusahaan listrik
swasta lainnya untuk menyediakan listrik bagi masyarakat, sedangkan dalam hal
ini PLN malahan menghalangi perusahaan lain untuk bersaing di bidang
ketenagalistrikan ini.
3. KESIMPULAN
PT. Perusahaan Listrik
Negara (Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan kerugian
pada masyarakat. Tindakan PT. PLN ini telah melanggar Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Namun, monopoli yang dilakukan oleh PLN dalam sektor
ketenagalistrikan memiliki landasan yuridis yang kuat yakni melalui konstruksi
hukum Pasal 33 UUD 1945, UU Ketenagalistrikan. Hanya saja, PLN belum mampu
menunjukkan kinerjanya secara optimal sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan
listrik bagi seluruh rakyat Indonesia secara layak. Demikian ini merupakan
suatu hal yang dilematis bagi penyelenggaraan ketenagalistrikan di Indonesia
mengingat kedudukan PLN yang kuat secara yuridis tersebut.
Untuk memenuhi
kebutuhan listrik bagi masyarakat secara adil dan merata, sebaiknya pemerintah
juga membuka kesempatan yang luas bagi penyedia listrik lain baik investor
swasta maupun internasional dalam persaingan usaha ketenagalistrikan. Akan
tetapi, Pemerintah harus tetap mengontrol dan memberikan batasan bagi investor
tersebut, sehingga tidak terjadi penyimpangan yang merugikan masyarakat. Selain
itu, Pemerintah hendaknya dapat memperbaiki kinerja PLN saat ini, sehingga
menjadi lebih baik demi tercapainya kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat
banyak sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33.
Sumber : https://nenygory.wordpress.com/2011/05/30/kasus-monopoli-yang-dilakukan-oleh-perusahaan-listrik-negara-pt-pln/